oleh : Muhammad Farif Alfajri

     Kampus merupakan wadah bagi setiap mahasiswa untuk mengembangkan potensi dirinya baik akademik maupun non-akademik sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Perguruan Tinggi. Pendidikan dan pengajaran di kelas hingga ikut kontestasi politik kampus yang dalam hal ini kontestasi pemilihan presiden mahasiswa adalah hal yang patutnya difasilitasi oleh kampus  dan tidak dihambat terhadap setiap mahasiwa yang bernanung didalam kampus tanpa ada tebang pilih, selagi mahasiswa tersebut masih aktif dan mampu untuk mengikuti segala bentuk mekanisme yang akan dihadapi. Namun dalam hal kampus Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) hal itu tidaklah terlalu diperhatikan. 
   Pemilihan Umum Raya yang sebentar lagi akan dilaksanakan begitu banyak mengundang kejanggalan. Yang pertama, anggota Komisi Pemilihan Umum yang dipilih dan dibentuk sangat tidak transparan. Sebab, mulai dari perekrutan anggota KPU sampai pada tahap penetapan itu dilaksanakan pada saat mahasiswa sedang melaksanakan liburan sehingga hanya orang-orang tertentu sajalah yang mengetahui info perekrutan tersebut bahkan hampir seluruh mahasiswa tidak mengetahui hal tersebut dilakukan. Selanjutnya, Komisi Pemilihan Umum kampus sebagai penyelenggara PEMIRA memberikan prasyarat yang tidak masuk akal dan tidak objektif. Bagaimana tidak, pengumpulan berkas pencalonan dilakukan hanya beberapa hari setelah penyebaran selebaran dari pihak penyelenggara dan pengumpulan berkas itupun dilakukan pada saat mahasiswa sedang libur dan sedang melaksakan Kuliah Kerja Nyata (KKN). Kemudian setiap calon haruslah merupakan kader dari salah satu OKP yang dalam hal ini merupakan anak kandung dari kampus Muhammadiyah itu sendiri yaitu Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang ini merupakan salah satu syarat mutlak dengan melampirkan sertifikat bukti bahwa mahasiswa tersebut sudah mengikuti pelatihan Darul Aqam Dasar (DAD) Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Persyaratan ini sangatlah menyekat dan menghambat laju potensi diri yang dimiliki oleh setiap mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu. Pasalnya, tidak hanya mahasiswa kader IMM saja yang belajar di kampus Universitas Muhammadiyah Bengkulu dan tidak hanya kader IMM jugalah yang memiliki potensi dan kualitas dalam menjadi peserta dalam kontestasi politik kampus tersebut, barangkali mereka yang tidak mengikuti pelatihan IMM dan atau mengikuti pelatihan di organisasi lainlah justru mempunyai kompetensi yang lebih baik. Hal tersebutlah yang merupakan syarat yang janggal dan tidak objektif, karena ukuran seseorang untuk memimpin itu tidaklah dapat dilihat dari mana mereka berasal dan di organisasi mana mereka belajar namun dilihat dari seberapa besar potensi mahasiswa tersebut dalam memimpin untuk membawa nama kampus Universitas Muhammadiyah Bengkulu kedepan menjadi lebih baik diantara kampus-kampus yang ada di Bengkulu bahkan di Indonesia sekalipun.
   Persyaratan yang dibuat oleh penyelenggara PEMIRA ini juga berdampak sistemik terhadap pilihan mahasiswa Universitas Muhammadiyah Bengkulu terkhusus mahasiswa baru dalam hal kebebasan memilih organisasi yang mereka minati. Bagaimana tidak, dari syarat itu setiap mahasiswa terdoktrin apabila ingin karir organisasi mereka dikampus lancar, mendapat jabatan yang bagus dan memiliki reputasi maka mereka harus mengikuti Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Hal ini juga sejalan dengan statuta kampus Universitas Muhammadiyah Bengkulu yang melarang OKP lain untuk masuk dan melakukan perekrutan terhadap setiap mahasiswa yang ada dikampus. Yang peraturan ini pun sebenarnya mengikuti SK dirjen DIKTI nomor 26 tahun 2002 yang sudah sangatlah usang dan sudah tidak lagi bisa dijadikan acuan dikarenakan sudah di ganti dalam Peraturan Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (permenristekdikti) nomor 55 tahun 2018 yang bunyinya sangatlah jelas mengatakan bahwa setiap organisasi ekstra kampus diperbolehkan untuk mengadakan perekrutan dan kaderisasi didalam kampus. Hanya saja kampus selaku institusi yang sepatutnya mensosialisasikan peraturan menteri itu tidak pernah menggubris bahkan kampus cenderung seperti tidak mau mengetahui ikhwal tersebut. Sedangkan mahasiswa sudah lama menunggu tindak lanjut dari peraturan menteri tersebut supaya tidak terjadi kesalahpahaman antar mahasiswa dalam hal perkaderan antar organisasi yang ada di kampus Universitas Muhammadiyah Bengkulu